22 Sep 2012 |
|
Ketika negeri ini diproklamasikan 67 tahun yang lalu, Bung Karno, Bung Hatta dan para Pendiri Republik telah menetapkan tujuan didirikannya negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, yaitu negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun di atas dasar Pancasila dan UUD 1945 serta disemangati oleh Bhinneka Tunggal Ika ~ persatuan dalam kemajemukan. Selanjutnya Indonesia yang maju dan sejahtera akan dicapai, sebagaimana dijelaskan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan menyambut 17 Agustus 2012, melalui pembangunan yang kuat dan berkelanjutan oleh seluruh komponen masyarakat Indonesia, sehingga pada tahun 2045 nanti, tepat pada perayaan 100 tahun kemerdekaan Indonesia, Indonesia diharapkan telah memiliki ekonomi yang kuat dan berkeadilan; kehidupan demokrasi yang stabil dan berkualitas; serta memiliki peradaban bangsa yang maju dan unggul. Untuk mencapai misi besar bangsa Indonesia tersebut, kecerdasan yang kuat dari bangsa Indonesia merupakan salah satu syarat yang harus terus dipupuk, dibangun dan dipelihara. Tingkat melek huruf dan budaya baca yang tinggi di kalangan masyarakat suatu bangsa merupakan salah satu tolok ukur kecerdasan atau kemajuan bangsa tersebut. Sebagai contoh Amerika Serikat yang merupakan negara maju, memiliki budaya baca yang tinggi di kalangan masyarakatnya. Hal ini dapat diketahui dari jumlah judul buku yang diterbitkan setiap tahunnya yang mencapai 75.000. Demikian juga dengan India, negara berkembang di Asia yang mulai menunjukkan eksistensinya di bidang ekonomi dan teknologi, mampu menduduki peringkat ketiga dunia dalam hal pengadaan buku dengan jumlah terbitan mencapai 60.000 judul buku setiap tahunnya. Dengan kata lain, buku memiliki peranan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan mendukung peningkatan ekonomi, dalam upaya mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pengadaan buku dan berbagai media cetak lainnya seperti koran, tabloid, dan majalah erat kaitannya dengan industri grafika, terutama industri jasa percetakan sebagai sarana utama dalam menerbitkan berbagai media cetak. Industri ini mengalami perkembangan yang pesat dari masa ke masa. Seperti halnya di belahan bumi lain, nenek moyang bangsa Indonesia memulai komunikasi tertulis dengan menciptakan berbagai aksara, seperti: Bali, Jawa, Lontraka/Sulawesi, Mandailing/Tapanuli, Kaganga / Bengkulu. Aksara tersebut digunakan untuk menuliskan sejarah atau peristiwa yang dialami, dongeng, lambang serta keyakinan yang mereka anut. Aksara tersebut ada yang ditulis pada batu, lempengan kayu, bambu, daun lontar, dan ada juga yang diukirkan di atas tembaga, perak atau berbagai jenis tembikar serta pada dinding bangunan candi. Perkembangan sejarah percetakan di Indonesia cukup pelik, bukan saja karena bidang ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah, tetapi juga karena buku bacaan dan produk-produk cetak lainnya hanya dianggap sebatas pelengkap dari produk-produk bidang atau industri lain. Padahal produk industri percetakan kini telah menjadi kebutuhan hidup masyarakat pada berbagai fase kehidupannya, seperti : kartu sehat, kartu tanda pengenal, kitab suci, media cetak, buku, brosur, spanduk, bahan pakaian (tekstil), bahkan sampai dengan kartu kematian. Pertumbuhan industri percetakan di Indonesia berawal dari kedatangan penjajah Belanda pada tahun 1596. Pada tahun 1602 para pedagang Belanda membentuk persekutuan dagang yang disebut VOC (Verenigde Oost Indische Commpagnie). Pada tahun 1615 Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, memerintahkan untuk menerbitkan memorie der Neuvelles. Penerbitan memorie tersebut memang masih dalam bentuk tulisan tangan. Tahun 1624 Kerkeraad (Dewan Gereja) di Indonesia mendirikan percetakan untuk keperluan Christelijk Onderweijs (pendidikan Kristen). Baru pada tahun 1668 pemerintah Hindia Belanda mendirikan percetakan di Indonesia yang digunakan untuk membantu kegiatan pemerintahan penjajah. Pada tahun 1717 pemerintah Belanda mendatangkan mesin cetak baru dari Nederland. Itu artinya hingga tahun 1717 di Indonesia hanya ada 2 percetakan. Selanjutnya berturut-turut, tahun 1810 Gubernur Jenderal Daendels menerbitkan Bataviasche Kolonialle Courant. Antara tahun 1812-1814, ketika Belanda berada di bawah kekuasaan Inggris Raya, diterbitkan Java Government Gazette. Tahun 1828 pemerintah Belanda mengganti nama penerbitan De Bataviasche Courant menjadi Javasche Courant. Pada tahun 1830, seorang putra asli Indonesia, Kemas Mohammad Ashari, menerbitkan surat kabar di Palembang. Dapat dikatakan, beliau merupakan pengusaha percetakan pribumi pertama di tanah air. Selanjutnya, pada tahun 1835, di Surabaya diterbitkan Soeranajasche Advertentieblad dan pada tahun 1852, di Semarang diterbitkan Koran Het Semarangsche Nieuws en Adevertentieblad oleh percetakan Olifant & Co. Tahun 1851 di Batavia terbit Bataviasche Advertentieblad. Perkembangan industri percetakan di Indonesia berjalan dengan baik hingga awal tahun 1995. Data Pusbuk (Pusat Grafika Indonesia) yang sebelumnya bernama PGI pada tahun 2005 menunjukkan di Indonesia terdapat sekitar 7.760 perusahaan / industri jasa cetak. Belakangan ini pertumbuhan industri percetakan di tanah air cukup memprihatinkan, yaitu hanya antara 3 sampai 3,5 persen per tahun. Angka pertumbuhan ini tergolong sangat rendah bila dibandingkan dengan negara tetangga yang memiliki jumlah penduduk besar seperti India yang memiliki sekitar 45 ribu industri percetakan dan China yang memiliki 90 ribu perusahaan percetakan. Beberapa kendala yang menghambat perkembangan industri cetak di Indonesia antara lain rendahnya minat baca serta kondisi mesin percetakan yang sudah tua. Hampir 65 persen mesin dan peralatan cetak di Indonesia sudah berusia lebih dari 20 tahun, sehingga memberi pengaruh besar terhadap kinerja dan kualitas produk-produk percetakan seperti produksi buku yang tertinggal. Ketertinggalan produksi buku ini sangat terlihat jika kita membandingkannya dengan produksi buku negara-negara tetangga. Vietnam negara yang baru merdeka pada pertengahan tahun 70-an dengan jumlah penduduk 80 juta jiwa, setiap tahun telah mampu menghasilkan 15 ribu judul buku baru. Sedangkan Malaysia dengan jumlah penduduk 26 juta jiwa setiap tahun menghasilkan 10 ribu judul buku baru. Indonesia, dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa hanya mampu menghasilkan 10 ribu judul buku baru setiap tahunnya. 10 ribu judul buku tersebut terdiri dari beberapa katagori, yaitu : buku umum (32 persen), buku pelajaran (25 persen), buku anak dan remaja (19 persen), buku agama (16 persen) dan buku perguruan tinggi(8%). Kini media cetak bersaing ketat dengan media elektronik (khususnya internet). Tetapi Indonesia yang terkenal sebagai negara kepulauan yang membentang dari Sabang hingga Merauke, diperkirakan masih membutuhkan media cetak sebagai media informasi utama. Media cetak memang mengalami penurunan dari segi oplah (sirkulasi). Hal ini menjadikan jenis industri cetak komersial pengguna mesin cetak kapasitas tinggi (mesin cetak web) yang selama ini hanya fokus pada jasa cetak, tidak memiliki penerbitan media atau buku,. paling terpukul. Di negara yang tergolong maju sekalipun, media cetak banyak yang gulung tikar. Diawali dengan bangkrutnya Chicago Tribune, Los Angeles Time, sampai dengan ditutupnya The Rocky Mountain News, Seattle Post Intelegencier, Philladephia Inquiry, Baltimore Examiner, Kentucky Post, King Country Journal, Cincinnati Post, Union City Register Tribune, Halifax Daily News, Albuquerque Tribune, South Idaho Star, San Juan Star, dan masih banyak koran-koran besar di AS yang sedang menanti keputusan pailit. Sebagian dari koran-koran tersebut memindahkan usahanya ke media online. Jika kita buka internet, dan memasukkan kalimat ³The end of Newspaper´ atau ³Newspaper Death Watch´ dalam search engine internet, maka ratusan judul segera muncul. Semuanya mengisahkan sakaratulmaut koran-koran di AS. Nasib serupa sesungguhnya sudah terjadi di Eropa Barat. Seorang wartawan Jerman di Bonn, berdasarkan berbagai informasi, memperkirakan bahwa pada tahun 2003 sekitar 13.000 wartawan Jerman terkena gelombang ... Selengkapnya di Majalah Indonesia Print Media Edisi 48 September - Oktober 2012. |