26 Jul 2013 |
|
Persoalan tersebut semakin mencuat manakala dikaitkan dengan berbagai perkembangan dan tuntutan kontemporer seperti globalisasi atau liberalisasi perdagangan, good governance, profesionalisme, transparansi, akuntabilitas, mobilitas sosial ekonomi, dan sederat isu terkait lainnya, yang mengarahkan kita untuk mampu berdiri di atas kaki sendiri, merubah paradigma SDM Indonesia dari sumber daya manusia padat otot menuju sumber daya manusia padat otak. Beberapa indikator yang mencerminkan suramnya grafika Indonesia, antara lain ditunjukkan oleh bobroknya kualitas dan pelayanan cetak, rendahnya kuantitas penerbitan koran dan buku, merajalelanya perang harga cetak, banyaknya industry jasa cetak yang gulung tikar, serta ketergantungan pengadaan berbagai peralatan dan media cetak yang kontinu terhadap negara lain, seperti : Jerman, Amerika, Jepang, bahkan Korea, China dan India. Di luar berbagai keluhan di atas, jauh sebelum masa kemerdekaan sebenarnya sedikit banyak pemerintah kolonial Belanda telah merintis pembinaan grafika Indonesia melalui pendirian beberapa lembaga pendidikan grafika, pembukaan percetakan, serta menghibahkan tenaga professional untuk kemajuan grafika Indonesia. Namun, hingga kini pemerintah Indonesia sepertinya belum cukup melakukan pembenahan yang sistematis dan komprehensif untuk melanjutkan dan mengembangkan program-program yang telah dirintis tersebut. Bahkan sebaliknya terjadi degradasi kewenangan terhadap usaha memajukan industry percetakan di negeri ini. Pembinaan industry percetakan yang sebelumnya berada di bawah naungan Departemen Penerangan RI, kini dihapus sehingga menjadi tidak jelas pengayomannya. Pusgarafin sebagai pusat pembinaan grafika ditiadakan. Industry mesin dan berbagai peralatan grafika juga dibiarkan tanpa pembinaan dan perhatian sehingga kondisinya menjadi hidup segan mati tak mau. Sekilas Tentang Perkembangan Industri Grafika di Indonesia. Kertas Industri pulp dan kertas Indonesia memiliki potensi besar dan terus berkembang. Jika sebelumnya Indonesia menempati peringkat 11 untuk industri kertas dan peringkat sembilan untuk industri pulp dunia, maka ke depan Indonesia berpotensi untuk menjadi tiga besar dalam industri pulp dan kertas dunia. Hal ini antara lain karena produksi pulp dan kertas di tanah air diuntungkan oleh kondisi iklim dan geografis daerah khatulistiwa.
Secara umum keberadaan dan perkembangan industri kertas Indonesia dapat dikatakan menggembirakan. Namun demikian, masih sering terdengar keluhan dari para pengusaha percetakan selaku pengguna kertas, antara lain menyangkut harga kertas dalam negeri yang tidak stabil, kelangkaan kertas, dan harga kertas produk dalam negeri yang lebih mahal ketimbang produk luar negeri. Mesin Industri mesin cetak di Indonesia boleh dikatakan antara ada dan tiada. Dikatakan tidak ada, nyatanya ada. Dikatakan ada, tetapi keberadaannya dirasa hampir tidak ada karena jumlahnya sangat kecil, tidak lebih dari hitungan jari tangan. Kebutuhan mesin cetak nasional hampir sepenuhnya masih bergantung pada produk impor. Rendahnya animo akan penggunaan produk dalam negeri menjadi penyebab utama akan keberadaan industri mesin cetak dan kelengkapannya di negara yang kini berpenduduk 250 juta jiwa ini.
Industri percetakan Indonesia lebih banyak mengandalkan mesin cetak produk Jerman, Amerika Serikat, Jepang, Cina, India, dan Taiwan. Padahal pasar lokal untuk mesin cetak terus menguat. Hingga kini, tercatat 35 ribu pelaku industri jasa cetak dengan omzet pasar mencapai Rp 130 triliun per tahun, dengan produk berupa buku, media cetak, dan kemasan industri. Data Badan Pusat Statistik tahun 2010 menunjukkan, khusus impor komponen suku cadang dan aksesori mesin cetak, mencapai nilai transaksi lebih dari US$ 524 juta, naik dari tahun sebelumnya US$ 369,4 juta. Pengamatan Indonesia Print Media menunjukkan hanya Panorama Behe dan Binterjet yang cukup menonjol peranannya sebagai produsen mesin cetak dan kelengkapannya di Indonesia. Kedua produsen perlengkapan grafika ini hanya fokus pada pembuatan mesin pra cetak, finishing dan mesin digital printing untuk keperluan out door / in door. Sedangkan produksi mesin cetak digital press, offset dan web, belum tersentuh sama sekali. Hal ini disebabkan untuk memproduksi mesin-mesin cetak tersebut diperlukan industri berteknologi tinggi, sumber daya manusia yang mumpuni dan investasi yang sangat besar. Panorama Behe yang dipimpin oleh Edi Subagio berlokasi di Daan Mogot Kalideres, Jakarta Barat. Hingga kini, perusahaan ini terus memproduksi berbagai mesin pendukung industri percetakan seperti: Plat Maker Behe, Plat Prossesor Behe, Plat Maker Tandem, Plat Prossesor Tandem Panggang, Plat Thermal, Laminator UV Varnish, Coater UV Varnish Mini, UV Conveyor Offset Spot, UV Curing, UV Curing System Waterbase, Varnish Coater Photopolymer, dan Maker Plat Klise Corona. Demikian juga dengan Binterjet yang berkantor di Surabaya dan dikomandoi oleh Hadi, sejak tiga tahun lalu telah memproduksi mesin cetak digital printing out door / in door, yang antara lain digunakan oleh percetakan Aura di Blitar. Pemilik percetakan Aura menyatakan bahwa kinerja mesin Binterjet yang digunakannya hingga kini relatif bagus, mudah dioperasikan, teknologinya sederhana, dan yang paling penting mesinnya hemat energi. Keunggulan-keunggulan inilah yang mendukung Aura sehingga mampu bersaing dengan perusahaan sejenis yang kini mulai menjamur di kota Patria itu. Tinta Di Indonesia terdapat beberapa industri/perusahaan yang bergerak di bidang produksi tinta cetak / ink manufacture, seperti Cemani Toka, Colorpak Indonesia, Sakata Ink dan lain-lain. Jenis tinta yang diproduksi masing-masing perusahaan sangat beragam. Sebagai contoh, Cemani Toka memproduksi : offset ink, sheet fed, News ink, UV ink, liquid ink, gravure, dan flexo.Adapun agen perusahaan tinta di Indonesia kini telah terdapat di kota-kota besar, seperti: Jakarta, Banten, Bandung Semarang, Surabaya, Bali, Medan, Palembang, Batam, Ujung Pandang, Pontianak dan Manado. Industri percetakan tak dapat dipisahkan dari ketersediaan produk tinta cetak. Saat ini, berbagai material promosi seperti: spanduk, banner, dan umbul-umbul sudah tak lagi menggunakan teknik cetak sablon yang proses pengerjaannya makan waktu cukup lama. Semua digantikan oleh ... Selengkapnya di majalah Indonesia Print Media Edisi 53 Juli - Agustus 2013. |