Sungguh merupakan sebuah ironi, melihat fakta bahwa sampai saat ini masih banyak buku pelajaran mengenai teknologi tinggi, tetapi diterbitkan dengan teknologi layout manual dan desain yang sangat normatif. Tidak percaya? Lihat saja buku-buku yang beredar di pasaran. Pada umumnya, format buku-buku tersebut tidak jauh berbeda dengan format buku-buku yang diterbitkan beberapa dekade sebelumnya. Kalau pun ada kemajuan hanya terletak pada kecepatan produksi, manajemen marketing, cover book, dan ketepatan editing.
Tidak mengherankan jika pada akhirnya para terdidik untuk semua tingkat pendidikan lebih memilih membeli CD hiburan, game maupun film, meskipun harganya jauh lebih mahal. Bahkan karena dibuat dengan format yang menarik, mereka pun menjadi lebih cepat menangkap isinya. Coba saja survei satu per satu.
Di sisi lain, tanpa banyak melakukan inovasi dalam memformat buku, penerbit tetap ngotot mengambil simpati publik dengan berbagai slogan seputar pentingnya peranan buku, seperti: "upaya mencerdaskan bangsa", "buku gudang ilmu", atau "mari membudayakan baca". Ini menunjukkan ironi lainnya.
FASILITAS SUDAH SERBA CANGGIH
Saat ini sarana untuk berimprovisasi dalam memformat buku pelajaran, seperti computer multi media, umumnya sudah dimiliki para penerbit besar. Trik dan fasilitasnya pun sudah tersedia lengkap. Jadi, yang diperlukan tinggal kemauan untuk memanfaatkannya dengan mengacu pada karateristik psikologis umum siswa.
Sebagai contoh Microsoft Word. Software ini memiliki berbagai aplikasi yang memungkinkan untuk pembuatan buku berartistik tinggi, meskipun masih dalam ruang lingkup hitam-putih. Kombinasi optionnya menciptakan jutaan kemungkinan layout/desain. Hal ini menunjukkan bahwa pilihan desain buku itu sangat banyak. Penerbit tinggal memilih beberapa desain terbaik di antaranya yang diperkirakan bernilai jual tinggi, sekali lagi meskipun cetakannya masih dalam format hitam-putih.
Tetapi, kenyataan yang ditemui di lapangan adalah terjadinya status quo. Seolah-olah kehadiran produk berteknologi canggih itu tidak berimbas sama sekali pada dinamika produksi, bak PC Pentium 4 yang hanya digunakan untuk mengetik. Hal ini menunjukkan bahwa paradigma perusahaan penerbitan masih berorientasi dagang, bukan industri. Sehingga nilai tambah produk hanya diukur sebatas selisih omset dan modal. Tidak ada kepedulian terhadap konsumen, dalam hal ini terdidik, dalam hal percepatan pemahaman terhadap buku pelajaran yang diterbitkan.
Sebuah pameo menyatakan, jangan-jangan ada sebuah buku yang bertema "tips menerbitkan buku", tetapi caranya justru banyak melanggar petunjuk yang tertulis di dalamnya. Miriplah dengan orang yang menjual kucing dalam karung, tetapi dia sendiri belum melihatnya sama sekali. Bagi dia, yang penting kucing itu cepat terjual.
Jika ingin mengabdi pada dunia pendidikan di tanah air, hendaknya dilakukan dengan sepenuh hati, meskipun dalam kerangka bisnis. Ciptakan buku yang baik dari segi isi maupun formatnya, dengan memanfaatkan sarana atau teknologi yang tersedia seoptimal mungkin. Satu hal lagi yang tidak boleh dikesampingkan oleh para penerbit buku, yaitu untuk selalu melakukan riset atau pengkajian terhadap kondisi psikologis standar terdidik saat membaca buku pelajaran. Sehingga sebuah buku dibuat tidak terbatas hanya mengacu pada kurikulum dan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar saja, tetapi juga dapat memberikan dampak psikologis terhadap pembacanya berupa percepatan pemahaman isi buku.
Idealnya isi sebuah buku pelajaran dapat dipahami si pembaca. Tidak harus secara keseluruhan, cukup sebagian kecil saja. Tetapi, bila untuk mengwujudkan yang terakhir ini saja, terdidik harus mengalami beban psikologis hanya karena format dan desainnya tidak menarik, maka itikad murni penerbit itu pantas dipertanyakan.
Banyaknya bacaan, poster, dan brosur dengan penggunaan bahasa tidak baku (prokem) yang diminati kaum remaja, esensinya merupakan cermin pentingnya kontrol pasaran komunikasi.
ERA BUKU ELEKTRONIK
Kalangan penerbit tentu sudah tahu, bahwa dewasa ini kita sudah memasuki era ebook (buku elektronik) yang bisa diunggah melalui internet, termasuk yang gratis, serta dibaca dengan komputer. Sebagian mahasiswa Indonesia pun sudah memanfaatkannya. Sehingga tidak sedikit referensi yang seharusnya diperoleh dengan membeli buku cetak, cukup diambil dari file tersebut. Keunggulan lainnya, mereka tidak perlu mengetik ulang ketika dipakai untuk sikripsi, tesis, atau paper. Cukup mengkopi serta mempastekannya, plus sedikit proses editing, yang semuanya berlangsung singkat.
Entah berapa banyak orang Indonesia yang menyediakan ebook secara gratis lewat situsnya masing-masing. Yang pasti grafik pertumbuhannya jauh lebih cepat daripada penerbit di Indonesia.
Dengan demikian lahan bisnis penerbit otomatis berkurang. Hal ini mirip dengan dampak munculnya teknologi produksi pakaian jadi terhadap penurunan pendapatan para penjahit yang pola/patron jahitannya tidak berubah.
Bayangkan dampaknya bila tren yang sama terjadi di kalangan remaja (SD-SMP-SMA) di mana gejalanya sudah mulai tampak. Para pakar teknologi informatika telah memperkirakan bahwa hal itu akan terjadi pada beberapa tahun mendatang. Bukankah ini akan membuat penerbit kalang kabut kalau tidak mau dikatakan bangkrut?
Penerbit tidak bisa lagi berdalih masih memiliki konsumen atau menghibur diri dengan berlindung pada data jumlah pengakses internet di tanah air yang memang prosentasenya masih kurang dari sepuluh persen. Atau mengandalkan proyek buku dari Depdiknas. Karena duduk persoalannya bukan di sana, melainkan bagaimana mempercepat kecerdasan bangsa guna menghadapi persaingan sebagai dampak globalisasi di segala sektor melalui partisipasi perbaikan tingkat efektivitas/efisiensi melalui buku. Apakah karena mereka belum mempunyai akses internet, sehingga terus dijadikan segmen pasar bagi buku pelajaran yang masih menggunakan layout manual dan desain normatif? Jika penyebabnya penerbit tidak mempunyai sarana dimaksud, maka hal tersebut masih bisa dimaklumi. Dan jika sarana dimaksud telah tersedia lengkap, maka yang harus dilakukan adalah menumbuhkan kemauan untuk memberdayakannya.
Di kalangan penerbit sendiri muncul opini bahwa pemikiran seperti itu hanya akan memboroskan biaya serta merintangi target pendapatan perusahaan. Padahal dilihat dari kepentingan skala nasional justru tanpa terobosan atau inovasi di bidang tersebut berpotensi menimbulkan pemborosan dana, tenaga, dan waktu.
" Secara logika dapat dijelaskan sebagai berikut. Jika seorang siswa membaca atau menghapal dua buah buku pelajaran dengan materi yang sama, level yang sama, tetapi berbeda kualitas layout/desainnya, apakah akan memberikan hasil yang sama? Jika diasumsikan siswa seperti itu berjumlah sepuluh juta, akan tampak jelas bagaimana korelasi kualitas buku pelajaran dengan percepatan pemahaman mereka."
Situasi saat ini boleh dikatakan masih jauh lebih baik, karena industri penerbitan di Indonesia masih dikuasai oleh bangsa kita sendiri. Tetapi suatu saat, jika kebijakan pemerintah memungkinkan investor asing masuk dan mampu menyediakan buku pelajaran yang lebih berkualitas dan lebih akomodatif dengan harga lebih murah, apa yang akan terjadi dengan industri penerbitan buku kita? Hal ini mungkin saja terjadi karena mereka sudah mempersiapkan perangkatnya secara lengkap, termasuk brainwarenya.
Hendaknya semua ini menjadi perhatian dan bahan pemikiran para penerbit. Selagi masih ada waktu, bersegeralah melangkah, agar kita tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam pelayanan buku berkualitas.
Selengkapnya baca di majalah Indonesia Print Media edisi 46 Mei - Juni 2012. |