22 Jan 2013 |
|
Tidak tanggung-tanggung memang produk grafika dapat pula dipergunakan sebagai tolak ukur kemajuan peradaban suatu bangsa. Semakin maju suatu bangsa, maka semakin banyak dan beragam barang cetakan yang diproduksi. Untuk menghasilkan produk grafika yang bermutu, tentunya diperlukan SDM yang kualifikasi ketrampilan dan keahlian yang tinggi, memanfaatkan teknologi yang tinggi, bahan baku yang baik dan dengan kualitas standard, peralatan yang lengkap dan canggih serta pengelolaan produksi yang baik. Perkembangan teknologi dan peralatan grafika dalam dasawarsa terakhir ini yang masuk kedalam negeri, merupakan angin segar bagi kalangan industri pada tingkat dan kalangan tertentu (yaitu kalangan yang siap menerima pengembangan teknologi dalam bidang financial maupun SDM nya). Dengan datangnya perkembangan teknologi grafika yang berbasis IT dari negara-negara maju seperti dari Eropa, Amerika juga dari negara Asia, baik dalam bidang pre-press, on-press maupun post-press beserta peralatan dan mesin-mesin yang demikian canggih, maka para pengusaha grafika yang merasa mampu, mulai menilai dan memilih teknologi dan mesin-mesin yang mana yang akan melengkapi usahanya. Suatu kesalahan besar apabila pemilihan dan pembelian peralatan/mesin-mesin hanya didasarkan pada kemampuan financial semata, tanpa memperhatikan kemampuan peralatan untuk memproses jenis pesanan/order, kesiapan SDM untuk mengoperasikan dan merawat mesin agar selalu berproduksi secara maksimal. Ketidaktepatan pemilihan dan pembelian peralatan/mesin-mesin akan dapat berakibat pada kelangsungan hidup perusahaan, karena investasi yang ditanam untuk pembelian mesin dan peralatan itu harus mampu dikembalikan pada jangka waktu tertentu.
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DAN PERALATAN/MESIN GRAFIKA Dikesempatan mengunjungi pameran grafika maupun promosi didalam negeri maupun diluar negeri terlihat demikian pesatnya perkembangan teknologi dan peralatan/mesin-mesin grafika. Mulai dari pre-press, on-press maupun post press, dan kemudian teknologi digital printing yang sudah merambah dengan mesin dan teknologinya yang sangat canggih. Perkembangan demikian maju ini merupakan jawaban dari tuntuan pemesan, konsumen maupun pelanggan akan: mutu yang prima, waktu produksi yang cepat atau penyerahan tepat waktu dan dengan harga yang wajar (kalau tidak boleh dibilang murah). Perkembangan teknologi grafika ini dimulai dari system produksi konvensional yang ditandai dengan tahapan produksi yang terpisah (misalnya didalam pre-press terdapat kegiatan perpisah antara disain, setting, pembuatan film, mounting dan pembuatan pelat). Lalu dengan berkembang pesatnya teknologi computer, dibidang grafika muncul dengan computer to film (CTF), yaitu suatu kegiatan yang mampu memproses dan menggabungkan kegiatan setting, disain, didalam satu tahapan (selanjutnya dikenal dengan istilah DTP = Desk Top Publishing, artinya pengolahan naskah (editing, lay-out, disain, setting, dll, dalam satu proses/satu meja). Kemudian selanjutnya digabung (didalam satu system) dengan image setter untuk memproses dan menghasilkan film yang sesuai dengan hasil olahan. Langkah system berikutnya muncul computer to plate (CTP), yaitu suatu penggabungan proses pre-press secara keseluruhan, dimana mulai pengolahan naskah, imposisi, lay-out, mounting dilakukan dalam satu proses, yang selanjutnya digabungkan (didalam satu system) dengan plate maker untuk dilakukan proses pembuatan pelat. System produksi CtP ini dapat menghemat biaya-biaya, dengan meniadakan pembelian peralatan camera reproduksi, pengadaan film, bahan kimia pemroses film, mounting film, serta menghilangkan masalah produksi yang diakibatkan oleh film, dan yang jelas dapat mempersingkat waktu produksi, dll. System produksi terakhir adalah computer to print (CTP), adalah suatu system yang mengolah model barang cetakan dalam satu system dan meng-gabungkannya dengan mesin cetaknya/langsung produksi. Oleh karena demikian beragamnya jenis, macam, jumlah, bahan, waktu produksi barang cetakan, maka ke-empat system produksi diatas secara bersama-sama berjalan sesuai kondisi pasar, dan hanya keinginan pasar atau keinginan konsumen yang menjadi penentu terakhir bagi perusahaan untuk memilih jenis system produksi yang dipakai.
KONDISI PERUSAHAAN GRAFIKA Suatu angka yang sangat signifikan terhadap jumlah perusahaan grafika di Indonesia yang sempat dicatat oleh mantan Direktorat Pembinaan Grafika DEPPEN kala itu mencapai 5.000, sekarang berdasarkan pada catatan Kamar Dagang dan Industri, Departemen Perindustrian, jumlahnya sudah mencapai kurang lebih 7.000an (suatu angka yang belum memadai apabila dikaitkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mendekati angka seperempat milyar orang). Mengapa angka atau data jumlah perusahaan percetakan diatas menunjukkan angka yang tidak pasti, hal itu diakibatkan oleh tidak semua bisnis di bidang grafika itu tercatat dan terdaftar oleh instansi pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan atau oleh organisasi profesi grafika, seperti PPGI,IKAPI,SGP,SPS,FPI, dan asosiasi grafika yang lain. Bisnis dibidang grafika bisa berskala besar, menengah dan skala kecil, bahkan dapat dilakukan di perumahan (sebagai home industri). Kriteria penggolongan skala usaha diatas ditentukan oleh: besarnya investasi, jumlah peralatan/mesin-mesin, jumlah karyawan, bahkan tingkat kemampuan perusahaan untuk memproses suatu barang cetakan. Kemudian jenis usaha home industri bidang cetak mencetak adalah suatu usaha yang umum dilakukan dilingkungan keluarga dengan modal terbatas, jumlah karyawan sedikit dan kemampuan produksi yang juga terbatas. Namun belakangan ini home industri menunjukkan peningkatan jumlah maupun kualitasnya, karena dengan modal yang tidak terlalu besar, dan memilih teknologi yang sederhana, walau keahlian yang belum cukup, tetapi dengan keuletan, kegigihan dan tidak kenal waktu, mereka mampu menghasilkan cetakan yang dapat diterima oleh pemesan. Gambaran diatas mengindikasikan bahwa usaha dibidang grafika/cetak mencetak, dengan adanya jumlah penduduk yang terus meningkat, dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan dan kecerdasan masyarakat, maka keperluan barang cetakan akan semakin meningkat dalam bentuk dan ragamnya, walau disisi lain terdapat penggunaan teknologi komputer yang dipergunakan dalam bidang komunikasi.
BAGAIMANA DENGAN LEMBAGA PENDIDIKAN GRAFIKA Sementara ini lembaga pendidikan grafika di tanah air masih didominasi oleh tingkat pendidikan menengah (Sekolah Menengah Kejuruan Grafika dan Media), bahkan dengan adanya otonomi daerah, setiap daerah yang sudah mampu, berlomba membuka pendidikan grafika menengah ini atau menambah didalam lembaga pendidikan kejuruan umum yang ada dengan peminatan/jurusan grafika (namun jumlah keseluruhan belum mencapai angka 50 SMK grafika). Sedangkan pada pendidikan tingkat Diploma III Grafika, saat ini masih didominasi oleh 4 buah lembaga pendidikan yang ada (yaitu: Akademi Teknologi Grafika Indonesia, Sekolah Tinggi Media Komunikasi (sebagai peningkatan status dari Akademi Teknologi Grafika Trisakti,(keduanya swasta) dan yang negeri adalah Politeknik Negeri Jakarta Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan dan Politeknik Negeri Media Kreatif (Politeknik ini semula adalah Pusat Grafika Indonesia beralih status menjadi pendidikan formal D.III). Apabila jumlah lembaga pendidikan grafika seperti diatas dan dikaitkan dengan jumlah perusahaan grafika di Indonesia mencapai kurang lebih 7.000an, jumlah lembaga pendidikan itu masih sangat kurang, sehingga potensi pengembangannyapun juga sangat menjanjikan, mengingat dengan jumlah perusahaan grafika yang demikian besar, potensi keperluan barang cetakan sangat besar, akan banyak membutuhkan tenaga kerja terdidik, trampil dan punya pengetahuan yang mampu untuk dikembangkan sejalan dengan perkembangan perusahaan. Namun kenyataanya tidak demikian, lembaga pendidikan teknologi grafika adalah jenis pendidikan teknologi yang paling mahal, dibanding dengan keteknikan yang lain, karena bidang grafika menggunakan teknologi tinggi dengan peralatan yang mahal serta pengembangan teknologinya juga cepat, belum lagi bahan untuk produksi/praktikumnya. Oleh karena itu kendala yang dihadapi cukup berat bagi lembaga pendidikan grafika yang berkeinginan mencetak lulusan yang benar-benar terdidik dan trampil serta siap berkarya dikalangan industri. Secara umum perusahaan/kalangan industri menuntut lulusan lembaga pendidikan grafika memiliki kemampuan seperti .... Selengkapnya di Majalah Grafika Indonesia Print Media Edisi 50 ( Januari - Februari 2013) |